Assalamu Alaikum

Welcome In My Blog

Jumat, 21 Oktober 2011

Kisah Seguci Emas dan Sebuah Apel





Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum nabi kita Muhammad r  dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah t, dia berkata: Rasulullah r  bersabda:
“Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.
Si pemilik tanah berkata kepadanya : “Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”
Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu: “Apakah kamu berdua mempunyai anak?”
Salah satu dari mereka berkata: “Saya punya seorang anak laki-laki.”
Yang lain berkata: “Saya punya seorang anak perempuan.”
Kata sang hakim: “Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”
Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah r  ini. Di zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan. Wallahul musta’an.
Dalam hadits ini, Rasulullah r  mengisahkan, transaksi yang mereka lakukan berkaitan sebidang tanah. Si penjual merasa yakin bahwa isi tanah itu sudah termasuk dalam transaksi mereka. Sementara si pembeli berkeyakinan sebaliknya; isinya tidak termasuk dalam akad jual beli tersebut.
Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah halal baginya ataukah haram?
Barangkali kalau kita yang mengalami, masing-masing akan berusaha cari pembenaran, bukti untuk menunjukkan dirinya lebih berhak terhadap emas tersebut. Tetapi bukan itu yang ingin kita sampaikan melalui kisah ini.
Hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah mereka dan tidak adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya. Kemudian muamalah mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.
Perhatikan pula kejujuran dan sikap wara’ sang hakim. Dia putuskan persoalan keduanya tanpa merugikan pihak yang lain dan tidak mengambil keuntungan apapun. Seandainya hakimnya tidak jujur atau tamak, tentu akan mengupayakan keputusan yang menyebabkan harta itu lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangannya.
Bandingkan dengan keadaan sebagian kita di zaman ini, sampai terucap dari mereka: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal?” Subhanallah.
Rasulullah r dalam bersabda hadits yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir t :
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”
Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. Padahal Rasulullah r  menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram.
Rasulullah r sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.
Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Shadiqul Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) r .
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadhus Shalihin mengatakan :
Adapun hukum masalah ini, maka para ulama berpendapat apabila seseorang menjual tanahnya kepada orang lain, lalu si pembeli menemukan sesuatu yang terpendam dalam tanah tersebut, baik emas atau yang lainnya, maka harta terpendam itu tidak menjadi milik pembeli dengan kepemilikannya terhadap tanah yang dibelinya, tapi milik si penjual. Kalau si penjual membelinya dari yang lain pula, maka harta itu milik orang pertama. Karena harta yang terpendam itu bukan bagian dari tanah tersebut.
Berbeda dengan barang tambang atau galian. Misalnya dia membeli tanah, lalu di dalamnya terdapat barang tambang atau galian, seperti emas, perak, atau besi (tembaga, timah dan sebagainya). Maka benda-benda ini, mengikuti tanah tersebut.
Ada lagi kisah lain, yang mirip dengan ini terjadi di umat ini dahulu.
Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, di salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut apel yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.
Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?
Pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut.
Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”
“Tidak,” kata pemilik kebun. “Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”
“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.
Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”. Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”
Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang besar.”
Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.” Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.”
Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?
“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui istrimu,” kata pemilik kebun tersebut.
Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya dan memberi salam.
Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?
Istrinya bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”
Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”, kata sang isteri.
“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah I”, kata sang isteri.
“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah I murka”, kata sang isteri.
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah I”, kata sang isteri.
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diridhai Allah I”, kata sang isteri.
Pemuda itu memandangi wajah istrinya, yang bagaikan purnama. Tak lama dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah I yang shalih, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah t.
Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, ayahanda Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu, dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.
Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Adakah yang mengambil pelajaran?.
Wallahul Muwaffiq
Maraji’ :
Kisah “Seguci Emas”, Abu Muhammad Harits ; Majalah Asy-Syariah, Edisi 49.dan tambahan/perubahan dari redaksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar